Kabupaten Purworejo
Geografis dan Topologis
1. Letak Geografis
Kabupaten Purworejo terletak pada posisi 109o 47’28” – 110o 8’20” Bujur Timur dan 7o 32’ – 7o 54 Lintang Selatan
2. Iklim
Secara topografis merupakan wilayah beriklim tropis basah dengan suhu antara 19 C – 28 C, sedangkan kelembaban udara antara 70% - 90% dan curah hujan tertinggi pada bulan Desember 311 mm dan bulan Maret 289 mm
3. Luas Wilayah
Kabupaten Purworejo memiliki luas 1.034,81752 km2 dengan batas wilayah
- Sebelah barat : Kabupaten Kebumen
- Sebelah utara : Kabupaten Magelang dan Wonosobo
- Sebelah timur : Kabupaten Kulonprogo (DIY)
- Sebelah selatan : Samudra Indonesia
b. Sejarah Purworejo
Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai rogo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro.
Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai“parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …” Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurangkurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam- kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin olehBupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901,Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer. Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orangorang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.c. Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Purworejo pada tahun 2014 adalah sebanyak 708.010 jiwa dan kemudian naik pada tahun 2015 menjadi 710.390 jiwa. jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Purbalingga pada tahun 2015 adalah sebanyak 350.390 jiwa dan jumlah penduduk perempuan adalah 4360.000 jiwa.
d. Ketenagakerjaan
Pada tahun 2014 Jumlah penduduk usia 15 tahun keatas (usia angkatan kerja) di Kabupaten Purbalingga ada sebanyak 368.602 jiwa dan pada tahun 2015 jumlah tersebut menurun menjadi 543.222 jiwa. Untuk upah minimun yang diterapkan di Kabupaten Purbalingga pada tahun 2015 adalah sebesar Rp. 1.165.000 dan kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2016 menjadi Rp. 1.300.000.e. Pendidikan
Pada tahun 2015, jumlah Sekolah Dasar di Kabupaten Purworejo ada sebanyak 526 dan 43 Madrasah Ibtidaiyah. Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertam ada sebanyak 94 dan 15 Madrasah Tsanawiyah. Untuk tingkat Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan ada sebanyak 55, sedangkan untuk Madrasah Aliyah ada sebanyak 7 sekolah.
Keunggulan Kabupaten Purworejo
a. Ternak
1. Kambing Etawa
Kambing peranakan Etawa (P.E) merupakan kambing keturunan Etawa asal negara India yang dibawa oleh penjajah Belanda. Kambing tersebut kemudian dikawinsilangkan dengan kambing lokal di Kaligesing. Saat ini kambing Peranakan Etawa dikenal sebagai ras kambing Peranakan Etawa asli Kaligesing, Purworejo.
Hingga saat ini kambing Etawa terus dikembangbiakkan. Kambing Peranakan Etawa diminati oleh banyak orang terutama di sekitar Jawa Tengah sehingga kambing ini menyebar pesat ke berbagai wilayah di Kabupaten Purworejo bahkan hingga ke luar Purworejo seperti ke Kulon Progo, Kendal, Sidoarjo-Jatim.
Kambing Peranakan Etawa ini memiliki ciri khas pada bentuk mukanya yang cembung, bertelinga panjang-mengglambir, postur tubuh tinggi (gumla) antara 90-110 cm, bertanduk panjang dan ramping.
Kambing jenis ini mudah berkembang dengan baik di daerah berhawa dingin, berbadan besar warna bulu beragam; belang putih, merah coklat, bercal, bercak hitam atau kombinasi ketiganya dan pada bagian belakang terdapat bulu yang lebat dan panjang. Panggemar kambing Peranakan Etawa umumnya sangat menyukai keindahan bulu dan bentuk mukanya. Karena itu sangat jarang jenis kambing ini dijadikan kambing semblihan (potong) untuk dimakan, mereka lebih memfungsikannya sebagai “klangenan atau piaraan” untuk koleksi. Bahkan konon jaman dulu, bagi yang memiliki kambing Etawa akan terlihat “selera” dan “siapa” orang itu di mata masyarakat.
Saat ini pengembangan terpadu kambing Etawa ditawarkan kepada investor oleh Pemerintah Daerah. Diharapkan tawaran ini mendapat respon positif mengingat potensi pasarnya yang masih belum tergarap optimal. Investor tentu tak akan rugi membisniskan kambing ini.
2. Hasil Olahan Susu
Di Kabupaten Purworejo, budidaya dan potensi kambing Peranakan Etawa memang belum optimal. Oleh karena itu upaya peningkatan potensinya terus dipacu. Nilai tambah kambing ini selain bentuk dan warnanya, sudah barang tentu dagingnya. Bahkan susunya pun diyakini memiliki “kelebihan tersendiri” untuk kesehatan yang berbeda dengan jenis kambing lainnya, ini berarti potensi pula untuk dioptimalkan.
Kambing Peranakan Etawa dapat beranak 3 kali dalam dua tahun dengan variasi anak 1-3 ekor per kelahiran. Namun, jumlah kelahiran dan intensitas kelahirannya sangat tergantung pada umur dan kondisi tubuh ternak tersebut. Makin baik pemeliharaannya tentu akan semakin baik pula kuantitas kelahiran dan kualitas yang dilahirkannya.
Saat ini tengah dikembangkan susu kambing Etawa sebagai konsumsi sehari-hari yang ternyata berkhasiat menyembuhkan gangguan pencernaan (maag). Kandungan protein, lemak Ca, Vitamin A dan Niacin yang tinggi sangat baik untuk memperkuat daya tahan tubuh. Bagi para eksekutif dan pemikir bangsa tentu tak salah bila mencoba minum susu Etawa ini. Rasanya yang khas disertai kandungan gizi yang spesifik yaitu setara ASI, non kolesterol membuat susu Etawa mudah dicerna dan dapat dikonsumsi untuk anak-anak. Hasil susu kambing Etawa sangat bervariasi berkisar antara 1,5-2,7 liter/hari /ekor dengan masa laktasi 5-7 bulan sehingga sangat memungkinkan untuk dibudidayakan sebagai penghasil susu. Melihat potensi besar Peranakan Etawa yang demikian unik dan menjanjikan, tak lengkap kiranya bila belum mencoba dan membuktikan sendiri. Monggo...kami tunggu.
3. Sapi Kareman
Sapi kereman merupakan sapi potong yang digemukkan. Sejauh ini penggemukan masih dilakukan secara sederhana oleh beberapa kelompok tani ternak. Kalau melihat kebutuhan akan daging sapi yang terus meningkat setiap tahunnya, tak pelak lagi, sapi kereman ini memiliki prospek yang menjanjikan.
Persoalannya di wilayah Kabupaten Purworejo minat untuk pengembangan sapi kereman ini masih sangat minim. Dalam kaitan itulah jelas diperlukan kehadiran para pengusaha profesional untuk pengelolaannya. Beberapa pilihan bisa ditempuh bila para investor berminat menggarap sapi kereman ini antara lain: dikelola melalui pola kemitraan atau dengan cara diusahakan dengan skala agribisnis yang intensif.
Selama ini usaha penggemukan sapi kereman baru dikelola oleh KTT Utami di Desa Purwodadi yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daging sapi baik di dalam maupun di luar Kabupaten Purworejo. Melihat besarnya kebutuhan akan daging, bahkan kebutuhan itu cenderung meningkat setiap tahun sudah barang tentu masih diperlukan penambahan usaha sejenis dengan skala dan pola bisnis profesional. Tak cukup oleh hanya satu unit usaha.
Pemerintah Daerah sendiri bertekad pada saatnya nanti usaha di bidang ini menjadi produk andalan Kabupaten Purworejo. Bagi investor yang berminat pintu selalu terbuka bagi Kabupaten Purworejo, kinilah saatnya.
4. Ikan Gurami
Disamping peternakan, penangkaran dan pembiakkan ikan juga ada di Purworejo. Ikan gurami salah satunya. Ikan gurami merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan disukai masyarakat Kabupaten Purworejo. Hingga saat ini beberapa usaha penangkaran telah berjalan, namun masih terbatas oleh penduduk setempat. Benih gurami ini dikembangkan oleh Kelompok Tani Sidodadi, Desa Sendang Sari, Kec. Bener dan Kelompok Tani Karya Abadi, Desa Kaliurip. Selama ini dua kelompok inilah yang mempunyai penangkaran benih gurami relatif produktif dan telah menghasilkan benih untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun regional (luar daerah). Dua kelompok tani tersebut disamping membudidayakan benih ikan, juga membudidayakannya untuk konsumsi.
Sayangnya akibat terbatasnya produksi yang ada sementara permintaan cukup besar mengakibatkan harga ikan gurami menjadi mahal. Itu pula yang menyebabkan masyarakat Purworejo belum dapat menikmati ikan gurami terutama masyarakat tingkat bawah. Diharapkan produksi ikan gurami ini dapat meningkat, dengan begitu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, tentu dengan harga bersaing.
Pariwisata Kabupaten Purworejo
a. Wisata Alam
Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 mdpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.
Saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.
Patung itu kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya. Tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.
Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.
“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “ Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.
b. Wisata Budaya
Kesenian tari Dolalak merupakan sabuah tarian rakyat yang menjadi primadona tari tradisional di Purworejo. Tarian yang sudah eksis sejak sekitar 85 tahunan ini telah merebak hampir di setiap desa di wilayah Purworejo.
Sejarah terciptanya tarian Dolalak yang menjadikan tarian khas dari Purworejo ini konon bermula dari peniruan oleh beberapa pengembala terhadap gerakan tarian dansa serdadu Belanda. Penamaan Dolalak diambil dari dari dominannya notasi nada do – la – la yang dinyanyikan serdadu Belanda untuk tarian dansa mereka.
Ketika pertama kali tercipta, tarian Dolalak tidak diiringi dengan peralatan instrumen musik, namun menggunakan nyanyian yang dilagukan oleh para pengiringnya. Lagu-lagu yang dicipta biasanya bernuansa romantis bahkan ada yang erotis. Nyanyian tersebut dinyanyikan silih berganti atau terkadang secara koor bersama.
Dalam perkembangannya, iringan musik tarian Dolalak menggunakan instrumen musik jidur, terbang, kecer, dan kendang. Sedang untuk iringan nyanyian menggunakan syair-syair dan pantun berisi tuntunan dan nasehat. Isi syair dan pantun yang diciptakan, campuran dari Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia sederhana.
Untuk kostum penari Dolalak, mengenakan layaknya pakaian serdadu Belanda, pakaian lengan panjang hitam dengan pangkat di pundaknya, mengenakan topi pet,dan berkacamata hitam. Yang unik dan paling menarik dari tari Dolalak adalah ketika penari memasuki tahap tarian trance ( kemasukan roh halus ). Saat penari mengalami trance yang ditandai dengan mengenakannya kaca mata hitam, penari akan mampu menari berjam-jam tanpa henti. Selain itu gerak tariannya pun berubah menjadi lebih nergik dan mempesona. Kesadaran penari akan pulih kembali setelah sang dukun “ mencabut “ roh dari tubuh sang penari.
Tarian Dolalak, semula ditarikan oleh para penari pria. Namun dalam perkembangannya, tahun 1976 Dolalak ditarikan oleh penari wanita. Dan hampir setiap grup Dolalak di Purworejo, kini semua penarinya adalah wanita. Jarang sekali sekarang ini ditemui ada grup Dolalak dengan penari pria.
c. Bedug Terbesar di Dunia
Bedug terbesar di dunia yang ditabuh sebagai tanda waktu sholat ini, berada di dalam Masjid Darul Muttaqien, alun-alun Purworejo, Bedug ini merupakan karya besar umat Islam yang pembuatannya diperintahkan oleh Adipati Cokronagoro I, Bupati Purworejo pertama yang terkenal sangat peduli terhadap perkembangan agama Islam.
Awal mulanya, Cokronagoro I sangat menginginkan memiliki sebuah bangunan Masjid Agung di tengah kota sebagai pusat kegiatan ibadah sekaligus memberikan ciri Islamiyah pada Kabupaten Purworejo yang dipimpinnya. Maka di sebelah barat alun-alun kota Purworejo yang berdekatan dengan kediaman (pendopo) Bupati , didirikanlah Masjid Agung Kadipaten yang sekarang bernama Masjid Darul Muttaqien. Masjid ini dibangun pada hari Ahad, tanggal 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa, bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M, seperti tercantum pada prasasti yang terpasang di atas pintu utama masjid yang berada di Desa / Kelurahan Sindurjan.
Untuk membangun masjid ini tampaknya Cokronagoro I tak ingin asal jadi. Ia meminta para ahli untuk mendapatkan kayu terbaik sebagai bahan utama pendirian masjid. Dibangun dengan gaya arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan lambang Teplok yang mirip Masjid Agung Keraton Solo, bahan-bahan untuk membuat tiang utama masjid ini berasal dari kayu jati bang yang mempunyai cabang lima buah dengan umur ratusan tahun dan diameter lebih dari 200 cm dan tingginya mencapai puluhan meter. Di atas tanah seluas kurang lebih 8.825 m2 masjid ini akhirnya berdiri megah di pusat kota Purworejo sebagai setra kegiatan dakwah dan ibadah muslim.
Kemegahan masjid tak ada gunanya tanpa banyaknya jumlah jamaah sebagai syarat utama memakmurkan masjid. Untuk itu, dipikirkan sarana “ mengundang “ jamaah hingga terdengar sejauh-jauhnya lewat tabuhan bedug sebagai tanda waktu sholat menjelang adzan dikumandangkan ( saat itu belum ada alat pengeras suara ).
Sekali lagi Cokronagoro I memerintahkan pembuatan Bedug dengan ukuran sangat besar dengan maksud agar dentuman bunyi bedug terdengar sejauh mungkin sebagai panggilan waktu sholat umat muslim untuk berjamaah di masjid ini. Raden Patih Cokronagoro bersama Raden Tumenggung Prawironagoro ( Wedono Bragolan ) yang juga adik dari Cokronagoro I menjadi pelaksana tugas membuat Bedug Besar itu. Sama seperti bahan pembuatan masjid yang menggunakan kayu jati pilihan , bedug besar ini pun disepakati dibuat dari pangkal ( bonggol ) kayu jati bang bercabang lima ( dalam ilmu bangunan Jawa/Serat Kaweruh Kalang, disebut pohon jati pendowo ). Daerah tempat pohon jati ini berasal adalah Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi.
Konon, pohon jati yang digunakan untuk membuat bedug ini sebelumnya dianggap sebagai pohon keramat yang tak boleh ditebang. Namun karena Islam tak mengenal tahyul, dan atas perintah Bupati, maka pohon jati yamg telah berusia ratusan tahun itu ditebang juga. Kyai Irsyad seorang ulama dari Loano yang juga dipanggil Mbah Junus akhirnya berhasil menebang sekaligus mematahkan mitos keramat pohon jati tersebut.
Ukuran atau spesifikasi bedug ini adalah : Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm. Bagian yang ditabuh dari bedug ini dibuat dari kulit banteng. Pembuatan bedug yang akhirnya dicatat sebagai terbesar di dunia ini, ternyata tak semudah yang dikira. Berbagai kendala harus dilalui sehingga memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Para ulama dan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan karya agung ini senantiasa berdoa agar mendapat ridlo dari Alloh SWT.
Akhirnya pada tahun 1837, bedug terbesar di dunia ini rampung dibuat dan diletakkan di dalam Masjid Agung Kabupaten Purworejo ( sekarang Masjid Darul Muttaqien ) yang ditabuh menjelang adzan sebagai tanda waktu sholat. Hingga sekarang warisan karya sejarah Islam ini terpelihara dengan baik dan tetap ditabuh sesuai fungsinya sebagai tanda waktu sholat. Para pengunjung seperti tak pernah surut mendatangi Masjid Darul Muttaqien, menyaksikan dari dekat bedug raksasa yang telah dicatat sebagai situs sejarah yang turut memberikan makna bagi perkembangan Islam di tanah Jawa.
Perizinan dan Pembiayaan
Informasi perizinan dapat ditanyakan di Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten Purworejo yang beralamatkan di jl. Urip Sumoharjo No.6 Purworejo, Jawa tengah, kode pos 54111 indonesia. No telp/fax (0275) 325202.Peluang Investasi Kabupaten Purworejo
PEMBANGUNAN GANESHA COMMUNITY CENTER DI KABUPATEN PURWOREJOPenataan potensi kawasan Ganesha di Kabupaten Purworejo diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan di pusat kota Purworejo. Kebutuhan zona ruang kawasan adalah untuk membentuk ruang publik sebagai bagian dari community center, baik berupa bangunan tertutup maupun ruang terbuka. Pangsa pasar yang dituju selain di dalam Purworejo yaitu : eks Karesidenan Kedu (Kota Magelang, Kab. Magelang ,Kab. Wonosobo dan Kab. Kebumen).
Project ScopeZona – zona yang direncanakan adalah mini market dan retail, café, open resto, workshop dan exhibition hall, radio, studio music dan kursus, hotel & restaurant, student center, refreshing center, sport center, management office, hotel ganesha, gedung pertemuan ahmad yani, perpustakaan , internet, toko buku dan musholla.
LocationDesa Sebomenggalan, Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo dengan luas area 17.695 m² milik Pemerintah Kabupaten Purworejo
Financial AspectPerkiraan nilai investasi: Rp 25.875.139.000
NPV: Rp 17.231.894.601
IRR: 18,81 %
Payback Period: 6 tahun
Investment Scheme
Kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Purworejo dengan skema BOT (Build, Operate dan Transfer)
Supporting InfrastructureDekat dengan rencana Bandara Kulonprogo, Yogyakarta
Contact Person
Susiyati, SH., MM.Head of Investment Section
Board of Investment and Integrated Service of Purworejo Regency (KPMPT Kabupaten Purworejo)
Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 6 Purworejo 54111
Mobile: +6285328407327
Telp/Fax: +62275 325205
Email: kpmpt@purworejokab.co.id
www.purworejokab.co.id
sumber :
http://www.purworejokab.go.id/
http://kpmpt.purworejokab.go.id/
http://bpmd.jatengprov.go.id/peluang-investasi/pembangunan- ganesha-communitycenter-di- kabupaten-purworejo