Pasar Papringan

Pasar Papringan terletak di Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung. Sejak dibuka kali pertama pada 11 Januari 2016, pasar yang berjarak sekitar satu jam dari pusat kota Temanggung itu sudah tiga kali digelar. Kawasan yang semula rungkut, kotor, dan dihindari itu kini malah mendatangkan kesejahteraan bagi warga desa. Pasar Papringan buka 35 hari sekali pada setiap

Minggu Wage. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai selapanan. Seratus persen pedagangnya warga Caruban. Mereka menjual aneka makanan khas desa. Dari makanan ringan seperti glanggem, srowol, lentheng, mendut, gemblong, grubi, jenang, kimpul kukus, kacang, hingga nasi pecel dan bubur. Ada pula es kelapa muda, aneka macam kopi, dan kefir atau minuman dari fermentasi susu murni.

Mengunjungi Pasar Papringan Temanggung, hal yang paling terlihat beda adalah uang pembayaran yang digunakan. Setiap pengunjung yang ingin berbelanja di sini wajib menukarkan uangnya dengan uang khusus untuk pembayaran. Uang tersebut terbuat dari kayu (kalau tidak salah kayu sengon) yang berlambang sepasang tunas bambu beserta nominalnya. Nominalnya dimulai dari 1 Pring sampai 50 Pring. Dengan ketentuan, 1 Pring itu artinya Rp. 1.000.

Bagi kalian yang pecinta radio tentu sudah tahu jika Temanggung, khususnya di Kandangan sudah sangat kondang dengan pembuatan Radio kayu. Bahkan radio-radio tersebut sudah banyak diekspor ke Luar Negeri. Ternyata tidak hanya Radio, akupun terpaku dengan sepeda bambu yang dibuat oleh bapak Singgih S. Kartono. Frame sepeda terbuat dari Bambu. Selain sepeda dan radio, masih ada barang-baranag lain seperti jam yang terbuat dari kayu.

Di Pasar Papringan ini banyak penjual yang menjual hasil bumi. Ada Singkong, Pisang, dan banyak lagi lainnya. Di sini kita bisa menawar hasil kebun tersebut. Siapa tahu bisa dapat pisang dengan harga yang cukup murah. Selain di Pasar Papringan, Temanggung juga mempunyai event menarik tiap tahunnya untuk hasil bumi. Biasanya hasil bumi se Jawa Tengah dipusatkan saat Soropadan Expo.Selain menjual aneka makanan, minuman, dan barang, pasar papringan juga menyediakan hiburan berupa tarian kuda lumping serta musik modern.

Tidak mudah mewujudkan pasar yang sudah digagasnya sejak sepuluh tahun silam. Kegelisahan muncul ketika Pak Singgih S. Kartono yang aktif bersepeda kala pagi berkeliling desa. Ia sedih melihat desanya yang miskin dan warganya yang produktif banyak mengadu nasib ke kota. Menurutnya hal itu salah. Seharusnya desa menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi warganya. Pembangunan desa harus dilakukan tidak berperspektif kota yang hanya menekankan pada fisik bangunan semata.

Sarjana desain produk Institut Teknologi Bandung itu kemudian mencoba membuat barangbarang dari kayu dan bambu. Lahirlah radio kayu bermerk “Magno”, furniture dengan desain tradisional-inovatif, dan beberapa produk lain. Sampai akhirnya ia membuat sepeda dari Sepeda bambu yang diberi merk “Spedagi” (dari kata sepeda pagi) itu kemudian terkenal.

Warga luar daerah, baik pakar lingkungan, penyuka sepeda, dan mahasiswa mulai berdatangan ke tempat tinggal Singgih di Dusun Kelingan  RT 02 RW 04 Desa Caruban, Kandangan. Ia mulai diundang ke berbagai negara untuk memperkenalkan konsep revitalisasi desa. Hingga menggelar Internasional Converence on Village Revitalization (ICVR).ahan bambu pada 2013.

Namun semuanya itu menurut Singgih belum menjawab kegelisahannya tentang pembangunan desa berdasarkan potensi lingkungan. Dari sharing ide dengan temantemannya, lahirlah Pasar Papringan. Karena tak punya lahan, Singgih harus menyewa kawasan papringan di Caruban dari warga. Lahan seluas 1000 meter persegi itu kemudian dibersihkan, dibuat jalan dari susunan batu, hingga nampak seperti taman yang indah.

Selanjutnya Singgih mencari pedagang pengisi pasar. Ia menemui warga dari rumah ke rumah, menawari mereka untuk berjualan. Tapi siapa mau berjualan di bawah bambu yang meski sudah indah namun sepi itu? Apalagi ada syarat lain. Masakan tak boleh menggunakan vetsin atau MSG dan bungkusnya tak boleh pakai plastik. Di situlah sulitnya, dalam meyakinkan warga. gelaran pertama yang berjualan hanya 15 orang. Tapi saya berhasil mendatangkan pembeli. Ternyata ramai, meski promosi hanya lewat media sosial. Ramainya Pasar Papringan menarik warga lain untuk berjualan. Untuk menambah variasi, Singgih juga mengajak produsen makanan dan minuman dari daerah lain. Ada juga mahasiswa desain dari India yang memamerkan karya kerajinan bambunya. 

Kini seluruh warga desa mendukung ide Singgih. Sehari sebelum gelaran pasar, warga desa bergotong royong membersihkan papringan. Urip mengaku sehari-hari menjadi buruh tani dengan pendapatan tak seberapa. Dengan berjualan jamu di papringan, urip dapat mengantongi Rp 300 ribu sehari.

Sumber: